Kondisi alam Indonesia sangatlah unik
bagi berlangsungnya kegiatan pertambangan.
Keterdapatan mineral dan batubara berada
pada lokasi yang dangkal (dekat dari
permukaan tanah), jenis endapan aluvial
pada tambang bauksit, laterit pada nikel dan
mangan. Keterdapatan batubara yang dekat
dengan permukaan tanah mengakibatkan
pembukaan lahan meningkatkan potensi
penurunan fungsi lingkungan berupa erosi dan sedimentasi. Tingkat curah hujan Indonesia
juga tergolong tinggi, dengan rata-rata 2000-
5.000 mm/tahun. Bila dibandingkan Australia
yang curah hujan rata-rata 744 mm/tahun,
curah huhan Indonesia enam kali lipat lebih
banyak dari Australia. Ini menjadi tantangan
tersendiri bagi pertambangan di Indonesia,
yakni kemungkinan terjadinya erosi dan
sedimentasi lebih besar.
Selain berpotensi menurunkan fungsi
lingkungan, kegiatan penambangan juga
dengan terpaksa akan menggali dan
memindahkan material yang tidak berharga
dari penambangan dan sisa hasil pengolahan
(tailing) yang berpotensi menimbulkan
perusakan dan pencemaran lingkungan.
Kegiatan pembukaan lahan juga berpotensi
merusak ekosistem pada hutan hujan tropis
yang di dalamnya hidup berjuta ragam hayati.
Mengingat kemungkinan semakin
besarnya dampak lingkungan yang timbul
akibat meningkatnya jumlah produksi
dan pelaku usaha pertambangan, maka
peme-rintah dituntut untuk mengawal
kegiatan pertambangan. Diantaranya adalah
dengan membuat peraturan perundangan
dalam rangka pencegahan perusakan dan
pencemaran lingkungan. Selain itu pemerintah
juga dituntut untuk melakukan pembinaan
dan pengawasan secara efektif dan efisien.
Pembinaan dan pengawasan yang dimaksud
khsususnya pada upaya peningkatan
pengelolaan lingkungan pertambangan
dengan mengoptimalkan peran Inspektur
Tambang melalui strategi yang cepat dan tepat
sasaran.